Sudah lama sebenarnya aku melihat sosok-sosok kelam ini dari sudut mataku.
Mereka yang berpakaian licin, bertubuh wangi, dan rambut ditata rapi.
Tapi tak ada tanda-tanda kehidupan dalam sorot mata mereka.
Tentu saja aku tak mengerti.
Bukankah kota yang berkilau ini adalah tempat kau menitipkan mimpi-mimpimu?
Di mana mimpi-mimpi membuka mata dari tidur panjangnya dan melompat lincah di antara pucuk-pucuk pencakar langit Ibu Kota?
Ah, betapa naifnya pikiran itu.
Ternyata aku terbalik. Justru kota ini yang mampu bertahan hidup berkat mimpi-mimpi kami.
Dan tak butuh waktu lama untukku bertemu dengan dia.
Sosok yang sangat akrab, sekaligus begitu asing, tengah berbalik menatapku..
Diselesaikan di Jakarta, 20 Februari 2017
==========================================================================
Ya, ini hampir diangkat dari kisah nyata. Karena sampai sekarang (semoga saja) aku belum sampai pada gambar nomor lima.
Tulisan (dan komik-komikan) ini bisa dibilang merangkum tiga tahun pertamaku di Jakarta. Selama rentang waktu ini juga, aku kepingin menulis tentang mas-mas ganteng dan mbak-mbak cantik berwajah layu yang tiap hari kulihat gencet-gencetan di atas busway yang penuh sesak.
Tapi… Siluman Sloth yang bersarang di otak membuatku menunda-nunda cerita ini sampai bertahun-tahun
Nah di akhir tahun 2015, aku baca cerpen Edy, temen seperjuangan di Tipikor dulu.
(Btw cerpennya Edy ada di sini. Baca ya!)
Reaksi pertama: Woaaah, kok bisaa… ini kita senasib po piye..
Setelah baca cerpen ini, aku merasa ‘terpanggil’ untuk menuntaskan cerita yang enggak pernah kuselesaikan itu.
Hanya saja…karena Siluman Sloth susah untuk dikalahkan, tulisan (dan komik-komikan) ini baru selesai setelah setahun lebih. Haha.
Ngomong-ngomong, apa memang orang kota punya semacam momen kontemplatif seperti ini waktu ngeliat cermin, ya?