Jamboo..!

Jamboo copy

Seekor jerapah muda menemukan sekuntum bunga rumput di balik semak-semak, saat kawanannya tengah bersantai sejenak.

“Jamboo,” ujarnya, menyapa bunga mungil dengan mahkota berwarna oranye muda itu. Tentu, bunga itu hanya diam, bergoyang pun tidak.

Anggota kawanan yang lebih tua lantas menertawakan jerapah muda ini. “Dasar si bodoh. Bunga itu untuk disantap, bukan diajak bicara,” kata mereka. Jerapah muda itu hanya mengangguk saja, lalu perlahan mendekatkan moncongnya pada si bunga rumput.

“Jamboo..,” bisiknya.

***

P.S: Katanya sih, jambo itu berarti halo dalam bahasa Kenya, Swahili, dan sekitarnya.

Mau Nonton Inside Out? Jangan Dandan Ketebelan*)

Sebagai penggemar animasi kelas bulu junior, ada dua studio animasi yang sama-sama ada di urutan satu dalam daftarku. Yang satu Ghibli, satunya lagi Pixar.

Sayangnya rilisan Pixar beberapa tahun belakanganseperti Brave atau Monster University—walau masih superior, tapi kurang nancep di otakku. Makanya, begitu muncul How to Train Your Dragon 2-nya Dreamworks sama Wreck It Ralph punya Disney, aku agak-agak melipir dari Pixar.

Tapi di dalem hati (tsah) aku masih nunggu rilisan Pixar yang bisa bikin kepikiran berhari-hari setelah nonton, macam Up, Monster Inc, Toy Story 3, atau Wall E. 

Sampai akhirnya muncul Inside Out!
Malah mungkin, sejauh ini Inside Out adalah film Pixar paling favorit dari yang terfavorit buatku.

Inside_Out_(2015_film)_poster

Ada dua cerita besar di Inside Out. Pertama tentang turbulensi emosi Riley, gadis kecil  11 tahun yang baru saja pindah ke San Fransisco bersama keluarganya. Yang keduadan paling serutentang makhluk-makhluk penghuni kepala Riley.

Ada lima yang penting, yakni Joy, Fear, Disgust, Anger dan Sadness, yang masing-masing mengontrol emosi yang dirasakan oleh Riley. Setiap emosi ini kemudian tertanam dalam kelereng-kelereng ingatan yang disimpan di labirin memori Riley.

Komandan dari kawanan ini adalah Joy, yang begitu bangga dengan hasil tugasnya selama ini, yaitu mayoritas kelereng ini berisi ingatan bahagia Riley. Ingatan bahagia ini juga terekam dalam core memory, kelereng ingatan yang membentuk pribadi Riley.

Kadang, ia menyerahkan kendali emosi pada Anger, Disgust, atau Fearkarena menurut Joy, mereka memiliki fungsi dalam hidup Riley.Namun, tidak dengan Sadness. Joy tidak pernah mengerti apa fungsi kesedihan yang melekat pada Sadness.

Sampai kemudian terjadi kecelakaan yang membuat Joy dan Sadness tersesat dalam labirin memori jangka panjang Riley, bersama dengan core memory. Kedua emosi dengan kutub berlawanan ini kemudian memulai perjalanan mereka kembali ke markas, dan bertemu dengan makhluk-makhluk lain yang mengendap di dalam kepala Riley

***

Alasan aku begitu suka Inside Out, bisa diringkas dalam satu kalimat: karena film ini Pixar banget.

Bah, tentu ini sangat subyektif, jadi argumen ini sebaiknya dipanjangkan sedikit.

Menurutku, kelebihan film-film top Pixar adalah, mereka mampu merangkum satu topik yang biasanya nggak ringan, dengan cara yang ramah bagi anak dan sekaligus tidak membodohi penonton dewasa.
Di Up, misalnya, ada cerita tentang kesendirian di usia senja dan kematian. Atau kritik terhadap eksploitasi bumi yang berlebihan dan gaya hidup masyarakat modern di Wall-E.

20150805_122723 (1)
Sempet ketemu Pete Docter (tengah) sama Ronnie del Carmen (kanan) juga, sutradara+penulis Inside Out 😀

Sementara Inside Out, mereka bercerita tentang banyak hal. Dari mata penonton cilik, Inside Out mungkin dilihat sebagai sebuah film petualangan dengan tokoh di dunia warna-warni. Atau sebuah penjelasan yang menyenangkan tentang cara manusia menyimpan ingatannya.

Tapi buat penonton dewasa, mungkin  ada sesuatu yang rasanya ditarik-tarik di dalam sini. Untukku sendiri, Inside Out membuatku berpikir mengenai apa saja yang telah dikorbankan atau ditinggalkan demi proses menjadi dewasa.
Tentang seberapa banyak ingatan kecil yang sebenarnya berharga, namun tanpa sadar dilupakan.
Dan juga bahwa di tengah masyarakat yang menyanjung kebahagiaan sebagai tujuan hidup, sesekali menarik diri untuk bersedih pun bukan suatu yang buruk.

Kelihatannya suram banget, ya. Tapi jangan salah, Inside Out adalah tontonan yang sangat menyenangkan. Semua-muanya, termasuk karakter, jokes, visual, sampai credit title-nya. Dan menurutku, Pixar berhasil membangun dunia dalam kepala Riley dengan pondasi imajinasi yang kekanak-kanakan , tapi tetap nyambung dengan penonton dewasa. Dan ini juga, menurutku Pixar banget.

Ringkasnya, kalau aku bisa mengendalikan ingatanku, ingin rasanya memasukkan pengalaman nonton Inside Out dalam core memory-ku.

***

*)Apa maksud judul ala-ala berita online ini? Well, aku nggak mau ngejelasin detail, karena potensial jadi spoiler (ha!). Tapi percaya saja padaku, karena seperti kata orang, mencegah lebih baik daripada bedak, maskara dan eyeliner  beleberan pada akhirnya (ha.)

P.S:

  • Tulisan ini, semacam pengembangan dari resensiku di Majalah Tempo 10 Agustus lalu. Poin yang terlalu subyektif dan yang nggak muat masuk ke tulisan 4 ribu karakter, dilempar ke sini.
  • JANGAN TELAT MASUK BIOSKOP. Serius. Seperti biasa, di awal film Pixar ‘mentraktir’ kita dengan satu film pendek. Di Inside Out, ada satu film pendek tentang sebuah gunung berapi yang kesepian. AND I LAVA IT!
  • Film ini mengingatkan aku dengan satu ‘proyek’ yang sudah kutelantarin sejak dahulu kala. Dan ternyata… ada beberapa poin di orat-oretku ini yang mirip dengan di Inside Out 😀

    Apa mungkin ini pertanda…kulanjutkan saja corat-coret-mbuh-iki-opo ini??!!

3

10

Sumber gambar:

Wikipedia

Perempuan Berwajah Layu

Bila ada seseorang bertanya, apa perubahan yang terjadi padanya sejak 365 hari lalu, maka perempuan berwajah layu ini akan menggeleng. Tidak ada yang berubah dalam waktu yang telah dilewatinya selama itu.

Jika digambar dalam sebuah bagan, maka kesehariannya akan berbentuk anak panah yang menunjuk satu panah di depannya, yang menunjuk anak panah lainnya lagi, lalu kembali ke panah asal. Membentuk siklus berwujud satu lingkaran sempurna.

Rutinitas. Ia terjebak di dalamnya.

Tapi, entahlah. Mungkin juga saat ini ia dengan suka rela berada dalam jebakan tersebut.
Karena seluruh rutinitas dalam hari-harinya, sekecil apa pun itu, telah menjadi ritual yang memberinya rasa aman yang menenangkan.

Misalnya toilet di lantai empat gedung kantor, yang selalu ia kunjungi pukul empat sore. Satu sudut yang paling jarang dikunjungi orang di tempat ini. Biasanya ia duduk saja di atas dudukan toilet. Meski sebentar, ada damai saat ia mendengarkan suara tetesan air dari keran yang sudah longgar, sambil menunggu menit-menit berlalu.

Atau lift tua favoritnya di sayap kiri kantor, satu-satunya lift yang ia gunakan di gedung ini. Alasannya, lift ini selalu berderit-derit saat mendaki atau menuruni satu lantai ke lantai lain. Suara ini, menjadi satu-satunya penghiburan untuknya dalam perjalanan dalam lift. Melupakan kesedihan akibat keengganan orang-orang untuk beradu pandang dengannya, meski mereka tengah bersama dalam satu ruang sempit.

Deritan lift itu adalah satu dari sekian bunyi kegemarannya, bebunyian yang menggelitiki telinganya. Di luar itu, dia juga suka dengan bunyi kapur yang menggesek papan tulis, atau suara keyboard komputer yang dipencet dengan penuh semangat.
Sayangnya, ia tak pernah memegang kapur sejak lepas dari sekolah dasar.
Sementara orang-orang kantor ini selalu merasa terganggu bila ia bertingkah dengan keyboard komputer.

Oh, ngomong-ngomong, seluruh rutinitasnya selalu berakhir pada pukul 23:27.

Seperti hari-hari yang lalu, ia naik ke atap gedung, dan berdiri di dinding pembatas. Memandang ke arah horizon, juga permukaan tanah yang jauh dari tempatnya berpijak.
Menikmati setiap hembusan angin malam yang membelai rambut panjangnya.

Lalu, seperti malam-malam sebelumnya, ia melompat.

Dan seperti kemarin dan kemarinnya lagi, yang terakhir ia dengar adalah bunyi berderak dari tengkoraknya yang menghantam tanah.

***

10062015. Mood: Nonton film horor, yuk.